SDM Ekonomi Syariah di Tengah Pasar MEA 2015
Posted by HMPS Ekonomi Syariah UIN GUSDUR Pekalongan on August 24, 2014 with No comments
Tahun 2015, babak baru integrasi ekonomi regional dimulai
dengan tema besar “Masyarakat Ekonomi ASEAN” atau lebih dikenal dengan istilah
MEA. Pada intinya, dengan MEA ASEAN menjadi pasar tunggal dan basis produksi
regional. Fenomena besar ini tentu memiliki makna penting bagi setiap pihak
yang terlibat, sehingga akan memunculkan dua pilihan: peluang atau ancaman?
Pembentukan komunitas MEA ini sudah disepakati para
pemimpin negara ASEAN sejak tahun 2003. Pada target awalnya akan diberlakukan
tahun 2020, namun pada kesepakatan tahun 2007, disepakati diajukan pada tahun
2015, di tahun itu pula cetak biru (blue
print) disusun. Artinya percepatan ini juga harus diantisipasi dan
dipersiapkan secara matang masing-masing negara.
Tujuan pembentukan MEA ini adalah untuk menyatukan
ekonomi di Kawasan Asia Tenggara. Setidaknya ada empat pilar utama yang tercantum
dalam blue print, diantaranya pertama, pembentukan ASEAN sebagai pasar
tunggal dan basis produksi regional. Kedua,
ASEAN sebagai kawasan berdaya saing tinggi. Ketiga, ASEAN sebagai kawasan dengan pembangunan ekonomi merata. Keempat, ASEAN sebagai kawasan
terintegrasi dengan ekonomi dunia.
Apa yang Bebas?
Kehadiran ASEAN sebagai pasar tunggal dan basis produksi akan
membuat kawasan ini dinamis dan berdaya saing. MEA menyepakati pembebasan arus barang, jasa, tenaga kerja, investasi, dan
modal. Hal penting dari MEA ini sebagai fokus kajian tulisan ini adalah
bagaimana kebebasan arus tenaga kerja di ASEAN disikapi. Artinya setiap warga
negara anggoa MEA bebas untuk bekerja dimanapun. Dalamhal ini, tidak terkecuali
sumber daya manusia di bidang perbankan syariah. Bisa jadi, suatu saat nanti
SDM ekonomi syariah di Indonesia dikuasai oleh Malaysia yang notabene pengkajian ekonomi syariah
disana lebih maju.
Menurut laporan tabloid Kontan 2014 edisi 3 Februari – 9
Februari 2014, anda tidak perlu heran jika di negeri gajah putih, Thailand di
pasar-pasar banyak pedagang yang bisa berbahasa Indonesia. Bahasa Indonesia
dipersiapkan untuk wisatawan Indonesia yang sedang berkunjung kesana. Dipelajarinya
bahasa Indonesia, karena bangsa ini dianggap sebagai pasar potensial.
Nampaknya ada upaya sungguh-sungguh dari mereka untuk
belajar bahasa Indonesia. Lebih lanjut, Thailand mendirikan Indonesian Study Center di tahun 2011.
Bahasa Indonesia juga dipelajari secara resmi di Peguruan Tinggi diantaranya:
Mae Fah Luang University, Chiang Mai University, dan Bhurapa University, dan
sudah merambah ke Srinakarinwirot University, Songkhla University, Menurut
mereka, bahasa adalah modal utama sebagai alat komunikasi untuk menjual
dagangan. Tidak hanya itu, mereka juga mampu berbahasa negara lainnya.
Dunia perbankan juga tidak kalah menarik untuk
diperebutkan di tingkat ASEAN. Jika kita tengok, maka ada Bank Syariah di Indonesia
yang mayoritas sahamnya dimiliki bangsa lain. Kondisi ini tidak hanya bank,
nampaknya juga pada sektor lain seperti industri asuransi syariah. Tentu kita
tidak ingin menjadi penonton di negeri sendiri. Semangat menjadi pemain tentu
harus dikobarkan, kalau perlu menjadi pemain juga di negeri orang. Yang perlu
diwaspadai adalah orang asing/tenaga kerja asing bisa masuk dan bekerja di
negara kita, tapi tenaga kita tidak bisa masuk negara lain.
Industri perbankan syariah dan keuangan syariah telah
berkembang pesat, namun belum ditopang dengan SDM yang handal dan
profesional, karena masih banyak SDM dari berbagai jurusan dan tidak paham
betul masalah ekonomi syariah. Berdasarkan riset yang dilakukan oleh Universitas Indonesia
tahun 2003, diungkapkan
bahwa lebih dari 90%
SDM bank syariah saat ini tidak memiliki latar belakang pendidikan ekonomi syariah. Jika demikian,
maka inilah persoalan utama yang harus segera diselesaikan.
Langkah-langkah Strategis
Jika babak baru perdagangan bebas ASEAN diberlakukan,
tanpa strategi yang tepat, niscaya Indonesia akan tergilas oleh negara ASEAN
lainnya. Mengapa demikian, disaat negara lain tengah memperkuat
keterampilannya, negara kita masih sibuk ngurusi “regulasi”. Padahal, pasar
bebas ASEAN membuka gerbang bagi para pencari kerja untuk berebut lowongan. Perlu
upaya sunguh-sungguh untuk menyongsongnya oleh semua pihak, tidak hanya
pemerintah namun juga masyarakat sebagai end
user.
Langkah antisipatif yang telah disiapkan oleh pemerintah
nampaknya lebih pada sektor industri. Dimana setiap barang industri wajib
memenuhi Standar Nasional Indonesia (SNI). Akan tetapi secara khusus, untuk
sektor jasa dan tenaga kerja khususnya SDM di bidang perbankan syariah dan
sejenisnya perlu upaya mandiri yang lebih sungguh-sungguh. Disamping itu campur
tangan pemerintah tetap dibutuhkan. Setidaknya Pemerintah perlu menyusun
regulasi yang melindungi tenaga kerja bidang ekonomi syariah kita dari gempuran
pihak lain. Kalo tidak ada aturan, sama saja kita mengorbankan bangsa sendiri.
Sebab, orang asing bisa masuk, sementara kita tidak bisa masuk di tempat orang
lain.
Upaya kerja keras itu penting. Sebagai gambaran hasil
riset Asian Productivity Organization (APO) menunjukkan bahwa tahun 2011
(meskipun data out of date)
produktivitas kita cukup rendah. Berdasar pada perhitungan Produk Domestik
Bruto (PDB) per pekerja penadapatannya berada pada posisi keempat bersaing
ketat dengan Filipina.
Menurut penulis, upaya yang bisa dilakukan di sektor
perbankan syariah adalah melakukan standarisasi dan sertifikasi SDM yang
bertaraf, minimal ASEAN. Kalau persiapan tidak tenaga kerja tidak matang, bukan
tak mungkin pengangguran bertambah saat MEA diberlakukan. Sebagai contoh, untuk
SDM logistik banyak pekerja Indonesia yang tidak memiliki sertifikat. Oleh
karena itu seringkali kalah dan tidak digunakan oleh negara lain. Meskipun
pabrik ada di Indonesia, mereka enggan untuk menggunakan SDM asli Indonesia.
Upaya yang bisa dilakukan oleh pemerintah, mungkin
melalui Bank Indonesia (BI) atau mungkin asosiasi yang bergerak dalam bidang
ekonomi syariah bersatu dan merumuskan standar SDM ekonomi syariah. Masyarakat
Ekonomi Syariah (MES), Ikatan Ahli Ekonomi Islam (IAEI) serta Asosiasi Perbankan Syariah Indonesia (ASBISINDO) mengadakan konsorsium untuk mewujudkan uji
kompetensi pegawai bank syariah. Upaya ini bisa dilakukan dengan mencontoh atau
belajar dari IBFIM Malaysia. Lembaga non profit di negeri jiran ini nampak
telah menyiapkan SDM ekonomi syariah yang profesional. Lembaga ini secara
sungguh-sungguh menyediakan training bagi
SDM ekonomi syariah serta melayani untuk upgrade
kompetensi.
Upaya lain yang bisa dilakukan adalah Perguruan Tinggi
(PT) yang membuka program studi ekonomi syariah, perbankan syariah, dan
sejenisnya untuk meningkatkan kualitas output-nya.
Perlu dibuat juga standar secara nasional tentang lulusan ekonomi syariah yang
berdaya saing tinggi. Materi-materi terkait ekonomi syariah ditingkatkan, tidak
hanya masalah kemampuan hukum ekonomi syariahnya tetapi juga masalah soft skill, seperti standar pelayanan
sehingga memiliki sertifikat service
excellence.
Selain itu, perlu juga PT untuk meningkatkan kompetensi
dosen sebagai pengajar ekonomi syariah melalui seminar, pelatihan, dan
sejenisnya. Kegiatan-kegiatan ini tidak hanya dilakukan di dalam negeri, tetapi
perlu juga menengok kajian ekonomi syariah di luar negeri, tidak hanya ASEAN,
tetapi juga Eropa dan Timur Tengah.
Untuk menghadapi MEA 2015, tidak ada salahnya jika kita
belajar kembali pada Sun Tzu, ahli strategi perang Tiongkok kuno “Jika kamu
mengenal musuhmu dan dirimu sendiri, kamu tak perlu takut dengan ratusan kali
pertempuran. Jika kamu mengenal dirimu sendiri tapi tak mengenal musuhmu, kamu
akan menderita kekalahan di setiap kejayaan yang kamu dapat”.
Sebagai penutup, MEA 2015 hampir dipastikan di depan
mata. Kesiapan sebagai harga mati. Perkecil basa-basi perbesar kesiapan diri. MEA
adalah peluang bukan ancaman.
Kuat Ismanto, SHI.,
M.Ag.
Dosen
Ekonomi Syariah STAIN Pekalongan
0 Comments:
Post a Comment
Berkomentarlah dengan cerdas