ASEAN Economic Community (AEC) 2015: Berkah atau Musibah Bagi Indonesia ?

Posted by HMPS Ekonomi Syariah UIN GUSDUR Pekalongan on August 24, 2014 with No comments



I.               Kesiapan Indonesia
AEC merupakan langkah maju yang telah disepakati bersama oleh negara-negara anggota ASEAN. Mengingat manfaat dan dampak yang akan ditimbulkan sangat besar, maka setiap negara telah berlomba-lomba mempersiapkan diri menghadapi AEC yang akan diberlakukan tahun depan.
Indonesia sebagai negara ASEAN terbesar sebenarnya akan sangat diuntungkan dengan diberlakukannya AEC. Potensi Indonesia untuk menjadi sebuah negara maju dengan adanya AEC dapat terlihat dari beberapa indikator antara lain: jumlah penduduk yang besar, sumber daya alam yang melimpah, keberagaman produksi UMKM dan lain-lain.
Potensi besar yang dimiliki bangsa indonesia tidak akan berarti apa-apa jika tidak dikelola secara maksimal. Menghadapi AEC, kondisi Indonesia dapat dikatakan belum sepenuhnya siap, hal ini dapat dilihat dari beberapa aspek:
a.        Sumber Daya Manusia (SDM)
Indonesia merupakan negara dengan jumlah penduduk terbesar keempat di dunia. Penduduk Indonesia yang berjumlah kurang lebih 250 juta merupakan pasar yang potansial bagi pasar domestik maupun internasional.
Satu aspek mendasar yang menjadi titik lemah bangsa Indonesia terkait SDM adalah tingkat pendidikan yang rendah. Tercatat hanya sekitar 7% masyarakat yang duduk di bangku kuliah, selebihnya paling banyak adalah lulusan SD dan SMP dengan total sekitar 75% sisanya adalah lulusan SMA/ SMK. Bandingkan dengan negara tetangga seperti Malaysia dan Singapura, lebih dari 20% jumlah penduduk yang bergelar sarjana.
AEC menawarkan sejumlah kemudahan terhadap lalu lintas sumber daya manusia. Masalah utama yang dihadapi bangsa ini seperti dijelaskan di atas adalah kurangnya skilled labour yang merupakan bagian dari blueprint yang telah disepakati. Indonesia lebih dikenal sebagai pengekspor unskilled labour yang bekerja sebagai pekerja kasar di berbagai negara. Hal ini sangat membahayakan bagi Indonesia karena akan banyak skliled labour dari negara ASEAN yang akan mengadu nasib di negara ini yang akan berujung pada semakin sempitnya kesempatan kerja bagi masyarakat.    
b.        Infrastruktur
Infrastruktur merupakan unsur penting yang harus dipenuhi dalam rangka peningkatan pertumbuhan ekonomi. Ketersediaan jalan yang memadai, bandara, pelabuhan dan sarana tranportasi akan mendukung percepatan pertumbuhan ekonomi. Kondisi infrastruktur di Indonesia belum bisa dikatakan memadai. Hal ini bisa dilihat dari kondisi jalan yang masih memprihatinkan seperti jalan pantura, jalur lintas Sumatera yang merupakan jalur utama pengiriman barang, kemacetan yang sering terjadi akibat perbaikan jalan atau kecelakaan juga mengganggu distribusi barang. Kondisi ini menimbulkan ekonomi biaya tinggi dalam pengiriman barang yang berakibat pada harga barang yang tinggi pula.
Pembangunan jalan tol menjadi penting untuk memperlancar arus pengiriman barang. Kendala yang dihadapi dalam pembangunan pembangunan tol di Indonesia adalah masalah pembebasan lahan. Infrastruktur lain terkait lalu lintas darat yang mengalami kemajuan adalah terbangunnya jalur rel ganda kereta api Jakarta-Surabaya. Rel ganda diharapkan akan mempermudah dan mempercepat lalu lintas pengiriman barang.
Infrastruktur laut dan udara masih perlu peningkatan, terutama untuk menjangkau daerah-daerah terpencil yang memilki potensi ekonomi. Bandara-bandara perintis di wilayah Papua, Nusatenggara merupakan contoh kemajuan infrastruktur yang telah dibangun pemerintah.   
c.         Birokrasi
Blueprint AEC mengamanatkan adanya aliran bebas investasi dan aliran modal lebih bebas. Birokrasi menjadi kunci dari ketertarikan investor untuk menginvestasikan modalnya di Indonesia. Selama ini Indonesia dikenal sebagai negara dengan sistem birokrasi yang berbelit-belit dan birokrasi “wani piro”, ini akan menyebabkan daya tawar bangsa terhadap investor rendah. Sebagai contoh Samsung lebih memilih Vietnam daripada Indonesia untuk pendirian pabriknya karena Vietnam lebih mempunyai daya tawar seperti insentif pajak, kemudahan perizinan dan sumber daya manusia yang lebih murah.
Indonesia telah melakukan beberapa langkah terkait birokrasi antara lain dengan adanya pelayanan satu atap atau satu pintu untuk proses perizinan dan investasi. Disamping itu, sekarang juga telah dikembangkan sistem online untuk mempercepat komunikasi dan dokumentasi serta meminimalkan orang bertemu orang sehingga sistem birokrasi akan lebih efektif dan terhindar dari budaya “wani piro.”
d.        Daya saing
Salah satu kunci keberhasilan untuk menghadapi AEC adalah menciptakan daya saing barang maupun SDM. Ekonomi biaya tinggi merupakan salah satu titik lemah produk yang dihasilkan oleh industri dalam negeri. Ekonomi biaya tinggi terjadi karena beberapa faktor, antara lain: ketersediaan dan kecepatan pengiriman bahan baku dan barang jadi, tingkat suku bunga pinjaman yang tinggi, tingkat upah buruh yang tinggi dan pungutan liar yang sering dilakukan oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab. Ekonomi biaya tinggi menyebabkan harga barang yang dihasilkan juga akan tinggi.
Untuk mengatasi ekonomi biaya tinggi, pemerintah harus segera melakukan langkah antara lain perbaikan infrastruktur seperti jalan, pelabuhan, sarana transportasi dan lain-lain sehingga pengiriman barang akan lebih cepat dan menghemat biaya. Pemerintah juga harus menurunkan tingkat suku bunga untuk mendorong pertumbuhan ekonomi terutama pertumbuhan UMKM. Di negara lain, seperti Cina, Malaysia, Singapura, tingkat suku bunga pinjaman hanya sekitar 3% - 5%, ini akan mendorong berkembangnya industri dan mengurangi beban bunga yang harus ditanggung oleh pengusaha. Pemerintah juga harus merampingkan birokrasi dan menindak tegas oknum yang melakukan pungutan liar seperti yang terjadi di jembatan timbang.
Dari sisi SDM, pemerintah harus melakukan pembenahan terhadap sistem pendidikan sehingga kualitas SDM bangsa ini bisa sejajar dengan bangsa lain.
     
AEC akan sangat menguntungkan bagi para enterpreneur untuk mengembangkan pasarnya sepanjang produk yang dihasilkan mempunyai kualitas yang memadai. Bagi pemerintah, AEC dapat dijadikan ajang promosi bagi para investor untuk datang dan berinvestasi di Indonesia dengan memberikan berbagai insentif dan kemudahan sehingga masuknya investor akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan menciptakan lapangan pekerjaan.
AEC akan jadi bumerang bagi Indonesia jika pemerintah tidak melakukan berbagai perbaikan dalam bidang birokrasi, daya saing maupun infrastruktur. Indonesia hanya akan dijadikan pasar potensial untuk pemasaran produk-produk dari luar negeri. Bangsa ini hanya akan jadi penonton bukan sebagai pelaku. Jika hal ini terjadi, maka AEC tidak akan menjadi berkah tapi sebuah musibah. 


M. Nasrullah, S.E, M.S.I.
Dosen Ekonomi Syariah STAIN Pekalongan