Thursday, 8 October 2015

Bank Syariah Harus Tampilkan Layanan Tanpa Beban Simbol Agama

Masyarakat non Muslim banyak yang tertarik dengan bank syariah. Namun, mereka masih ragu karena terbebani tampilan simbol keagamaan. Untuk menyakinkan mereka, perlu ada edukasi dan sosialisasi.
Ketua Majelis Kristen Indonesia, Bonar Simanungsong.
Ketua Majelis Kristen Indonesia, Bonar Simanungsong.
Ketua Majelis Kristen Indonesia Bonar Simanungsong menyambut baik pengembangan keuangan syariah di Indonesia. Menurutnya, konsep ekonomi Islam ini memberikan keberkahan bagi kemaslahatan umat, sehingga tak heran non Muslim mulai meliriknya.
Namun demikian, kata dia, sekalipun umat non Muslim sudah melirik, tapi terkadang masih ragu dan bertanya dalam hatinya. Apakah jika ingin membuka rekening atau investasi diterima atau tidak oleh bank syariah tersebut.

Karena, lanjut dia, bank syariah dalam menjalankan operasionalnya berdasarkan pada prinsip syariah. Maka umat non Muslim akan berpandangan bahwa bank syariah ini indetik dengan Islam dan umat Islam. Padahal komposisi masyarakat Indonesia itu beraneka ragam, seperti non Muslim yang ingin menabung di bank tersebut, terkadang ragu takut tidak diterima.
“Kalau datang ke bank syariah diterima apa nggak ya? Untuk menghilangkan keraguaan, ya  harus ada sosialisasi dari regulator atau bank syariah kepada non Muslim,” kata Bonar kepada MySharing, di Jakarta, beberapa waktu lalu.

Karena menurutnya, sekalipun mereka sudah tahu kalau keunggulan sistem bank syariah adalah bagi hasil bagi nasabah. Namun, edukasi dan sosialisasi terkait segala fasilitas layanan bank syariah, sangatlah penting disampaikan sebagai upaya menjaring nasabah non Muslim.
“Umat non Muslim sangat yakin betul bahwa sistem bagi hasil memberikan keuntungan dan keberkahan. Tapi tentu pemahaman detail sistem ini sangat mereka perlukan, sehingga harus ada sosialiasi,” ujarnya.
Namun demikian, tegas dia, jargon-jargon bank syariah dalam mengedukasi umat Muslim dipandang sebagai sesuatu yang tidak ada hubungannya dengan mereka. Oleh karena itu diharapkan edukasi atau sosialisasi terkait keuangan syariah harus berbeda tapi arah tujuan dan maknanya adalah sama. Yakni menabung atau investasi yang memberikan keberkahan umat.

Bonar menegaskan, jika memang perbankan syariah serius menggarap pasar non Muslim, maka ada baiknya bank syariah sejenak meninggalkan atribut atau simbol keagamaan. Namun lebih mengedepankan fitur perbankannya tanpa ada embel-embel syariah, seperti halnya misalkan untuk tayangan iklan dan promosi. Hal ini, menurutnya, akan lebih mengena dan ketika sadar bahwa itu bank syariah, tapi fitur perbankannya sudah mengena dalam hati lebih dulu.

”Jika bank syariah lebih menampilkan layanan tanpa beban simpol keagamaan. Saya percaya bank syariah akan lebih menarik lagi di mata masyarakat non Muslim atau mungkin juga Muslim,” pungkasnya.
Namun demikian, tegas dia, untuk meningkatkan pertumbuhan perbankan syariah, tentu terpenting adalah politic will dari pemerintah. Karena, edukasi dan sosialisasi keuangan syariah segencar apapun dilakukan tanpa payung pemerintah, niscaya akan bisa sejajar dengan negara lain.
 

Friday, 11 September 2015

Apa Itu Efek Beragun Aset Syariah?

Pembiayaan yang disalurkan perbankan syariah acapkali merupakan pembiayaan jangka panjang, sementara perbankan diharuskan mengalokasikan bagi hasil bagi nasabah simpanan setiap bulan. Bagaimana mengatasinya?
Saham

 Jika perbankan tidak mampu mengelola likuiditasnya dengan baik, maka akan terjadi mismatch (ketidaksesuaian) likuiditas di perbankan. Untuk mengatasi masalah tersebut sebenarnya sudah terdapat sejumlah instrumen seperti surat perbendaharaan negara (SPN) syariah, sukuk, sertifikat investasi mudharabah antarbank, hingga sertifikat perdagangan komoditi syariah antarbank. Namun ada satu instrumen yang masih belum bergaung di industri perbankan syariah, yaitu efek beragun aset (EBA) syariah.

EBA pada dasarnya adalah instrumen yang membuat aset kurang likuid menjadi likuid. Ini merupakan langkah sekuritisasi aset, dimana membuat aset-aset yang tidak likuid menjadi aset likuid dengan cara menjual sekumpulan aset dari pemilik awal kepada pihak lain melalui penerbitan surat berharga. Baca: Sukuk untuk Pembiayaan Pertanian? Kenapa Tidak!

Ada sejumlah kriteria agar suatu aset dapat disekuritisasi, diantaranya adalah punya risiko yang terdistribusi merata dan aset punya kapasitas cukup untuk disekuritisasi. Selain itu, aset-aset tersebut juga harus memenuhi prinsip syariah, halal dan terbebas dari unsur riba, serta aset jaminan bukan merupakan utang, kas atau aset yang dilarang (haram) atau berasal dari investasi yang tidak produktif.

Dalam fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN MUI) No 40/DSN-MUI/X/2002 tentang Pasar Modal dan Pedoman Umum Penerapan Prinsip Syariah di Pasar Modal, EBA Syariah didefinisikan sebagai Efek yang diterbitkan oleh kontrak investasi kolektif EBA Syariah yang portofolio-nya terdiri dari aset keuangan berupa tagihan yang timbul dari surat berharga komersial, tagihan yang timbul di kemudian hari, jual beli pemilikan aset fisik oleh lembaga keuangan, efek bersifat investasi yang dijamin oleh pemerintah, sarana peningkatan investasi/arus kas serta aset keuangan setara, yang sesuai dengan prinsip-prinsip syariah.

Secara umum, institusi yang dapat menerbitkan EBA terdiri atas 2 jenis yaitu lembaga trusts dan special purpose vehicle (SPV). Namun sistem hukum di Indonesia tidak mengenal lembaga trust sebagai issuer, sementara SPV belum diterapkan secara umum dalam proses sekuritisasi di Indonesia. Kecuali Perusahaan Penerbit SBSN yang bertindak sebagai SPV penerbitan sukuk negara, belum ada perusahaan lain yang khusus bertindak sebagai SPV di Indonesia. Baca: Investor Makin Tertarik dengan Surat Utang Syariah

Oleh karena itu, mekanisme yang diatur dan digunakan untuk melakukan sekuritisasi di pasar modal Indonesia adalah Kontrak Investasi Kolektif Efek Beragun Aset (KIK-EBA). Konsepsi EBA dalam bingkai KIK secara khusus bertujuan untuk menjembatani belum dapat diterapkannya konsep SPV dalam bentuk perusahaan di pasar modal.

Sumber: http://keuangansyariah.mysharing.co/apa-itu-efek-beragun-aset-syariah/

Wednesday, 26 August 2015

Apa itu Ijma’ dan Qiyas?

Cara hukum diambil sesuai ajaran Islam, setelah Rasulullah Saw wafat mengggunakan metode Ijma’ dan Qiyas. Mari mengenal dua istilah ini.
Pada masa Rasulullah Saw peraturan dan hukum dalam Islam langsung diterima melalui wahyu (ayat-ayat al-Qur’an dan atau Sunnah beliau melalui hadits) yang kemudian disampaikannya pula kepada ummatnya.
Sebagaimana telah diuraikan bahwa cara turunnya wahyu dibagi dua macam dapat dilihat di sini. Sunnah Rasulullah Saw terbagi atas tiga bagian yaitu sunnah qauliyah (perkataan), fi’liyah (perbuatan) dan sunnah taqririyah (persetujuan atau penolakan).
Ijma’ dan qiyas pada masa kehidupan Rasulullah Saw merupakan suatu media yang tidak dibutuhkan, sebab Rasulullah Saw bertindak sebagai peletak dan penjelas hukum-hukum yang datang dari Allah SWT.
Sepeninggalnya Beliau Saw, banyak kejadian yang tidak ditemukan hukumnya dalam al-Kitab dan sunnah Rasulullah Saw, sehingga memerlukan pengamatan dan penelitan serta pendekatan dengan suatu hukum yang telah ada dalam al-Qur’an dan as-Sunnah.
Pertanyaan, kapankah timbulnya metode ijma’ dan qiyas ini, apakah pada zaman sahabat? Ataukah pada masa tabi’in?
Ibnu Khaldun berpendapat bahwa kedua metode tersebut timbul pada masa sahabat RA, dan dari sinilah bermulanya dasar-dasar ilmu usul fiqih yang kita kenal saat ini.
Sebagaimana riwayat yang mengisahkan tentang peristiwa berangkatnya Mu’az bin Jabal ke Yaman.
Berijtihad dan Tidak Berputus Asa
Mu’az bercerita bahwa Rasulullah Saw bertanya kepadanya: “Bagaimana caramu memutuskan suatu perkara? Mu’az menjawab: berpedoman kepada al-Kitab. Rasulullah Saw bertanya: dan apabila Engkau tidak menemukan jawabannya dalam Kitabullah? Mu’az menjawab: Berpedoman kepada sunnah Rasulullah Saw. Rasulullah Saw kembali bertanya: Dan apabila dalam sunnah Rasulullah Saw pun tidak engkau temukan jawabannya? Mu’az berkata: saya berijtihad untuk menemukan yang terbaik dan tidak putus asa. Mendengar jawabanku Rasulullah Saw menepuk dadaku dan berkata: Alhamdulillah yang telah memberikan kepada utusan Rasulullah petunjuk sesuai dengan apa yang diridhoi oleh Rasulullah. (al-Mulal wan-Nahl, asy-Syahrestani. J:1, H:350).
‘Amer asy-Syu’abi meriwayatkan dari Syuraih ketika Syuraih menjabat sebagai hakim bahwasanya Khalifah ‘Umar RA mengirimkan surat kepadanya yang berisikan: apabila engkau dihadang suatu perkara maka tuntaskanlah dengan berpedoman kepada kitabullah, namun bila perkara tersebut tidak engkau dapatkan jawabannya (hukumnya) dalam kitabullah maka carilah jawabannya dengan berpedoman kepada sunnah Rasulullah Saw, dan apabila engkau tidak menemukan jawabannya pula dalam sunnah Rasulullah Saw maka tuntaskanlah perkara itu dengan apa yang telah disepakati dan menjadi ijma sebagian besar masyarakat (ahli ilmu).
Ibnu al-Qayyem menjelaskan: sesungguhnya sahabat Rasulullah Saw selalu melakukan ijtihad dalam perkara-perkara yang menghadang mereka RA, dan menjadikan methode qiyas sebagai media pengukur antara suatu perkara yang telah diputuskan hukumnya pada masa Rasulullah Saw dan perkara yang belum ada hukumnya yang sedang mereka alami, hingga mereka mencapai suatu kesepakatan dan kejelasan hukum mengenai perkara itu. (I’laam al-Muwaqi’in. H:177).
Banyak contoh kasus yang dapat dijadikan sebagai jawaban atas pertanyaan di atas, di antaranya:
Pertama. Ketika khalifah ’Umar RA mengetahui bahwa Samra bin Jundub menjual minuman keras kepada orang non muslim (kitabi), maka ia berkata: Allah SWT memerangi dan melaknat Samra, apakah dia tidak mengetahui bahwa Rasulullah Saw bersabda: Allah SWT telah melaknat kaum Yahudi, sebab walaupun mereka telah diharamkan baginya lemak ternak, akan tetapi mereka tetap menjualnya. (Muslim, Sharh an-Nawawi. J:4 H:9 dan sunan al-Baihaqy J:6 H 12).
Dalam kasus ini ‘Umar RA mengqiyaskan minuman keras (Khamr) yang diharamkan untuk dikonsumsi bagi ummat Islam kepada lemak ternak yang diharamkan untuk dikonsumsi bagi orang Yahudi. Laknat Allah SWT yang menimpa mereka bukan karena mereka mengkonsumsinya akan tetapi karena mereka telah mengetahui hukumnya, namun mereka tetap memanfaatkan lemak tersebut untuk dijual, sama halnya dengan khamr yang telah diharamkan akan tetapi dimanfaatkan oleh Samra bin jundub untuk menjualnya kepada orang non Muslim.
Kedua. Ijma’ sahabat bahwa hamba sahaya adalah dihitung setengah dibandingkan dengan orang bebas, dalam masalah perceraian, iddah dan sebagainya. Hal tersebut diqiyaskan kepada firman Allah SWT pada ayat 25 Surah an-Nisaa’: “Dan apabila mereka (wanita hamba sahaya) telah menikah, kemudian berzina, maka hukumannya setengah dari hukuman wanita muslimah bebas”.
Tiga Metode Qiyas
Ibnu al-Qayyim berkata: sepeninggalnya Rasulullah Saw para sahabat melakukan ijtihad untuk mengetahui hukum yang belum ada penafsirannya pada masa Rasulullah Saw, dengan berprinsip kepada asas (qa’edah): “Persamaan kebenaran adalah benar dan persamaan ketidakbenaran adalah tidak benar” (I’laam al-Muwaqi’in. J:1, H:177-178).
Sahabat melakukan qiyas dengan tiga metode yang tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya yang kemudian dikenal sekarang dengan sebutan qiyas, ketiga metode tersebut ialah:
  1. al-Amtsaal (contoh kasus yang sama)
  2. al-Asybaah (contoh kemiripan kasus)
  3. al-Nazdaaer ( perbandingan antara kedua kasus) (I’laam al-Muwaqi’in. J:1, H:185)

Sumber : http://amirah.mysharing.co/39/apa-itu-ijma-dan-qiyas/

Indonesia Tetap Optimis Kekuatan Masyarakat Ekonomi ASEAN

Penerapan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) pada akhir tahun 2015 ini sudah di depan mata. Bagaimana kesiapan negara-negara ASEAN itu sendiri?
masyarakat ekonomi aseanNegara-negara di kawasan ASEAN sedang bekerja keras untuk menyelesaikan berbagai isu implementasi komitmen cetak biru MEA (AEC Blueprint), khususnya terkait komitmen liberalisasi di bidang jasa.
Seperti Menteri Ekonomi ASEAN lainnya, Menteri Perdagangan RI – Thomas Lembong mengaku tetap optimis dapat menghadapi berbagai tantangan berat tersebut karena kekuatan perdagangan ASEAN dalam menghadapi perubahan global.
“Pendeklarasian MEA di akhir 2015 kelihatannya menghadapi tantangan karena sebagian besar negara anggota ASEAN kesulitan untuk mengimplementasikan komitmen measures yang telah disepakati. Namun, Indonesia tetap optimis dapat mewujudkan integrasi MEA dan menjadikan ASEAN sebagai kekuatan baru di tengah perubahan global,” ungkap Mendag Thomas Lembong di sela-sela acara pertemuan internal Menteri Ekonomi ASEAN dalam Pertemuan AFTA-Council ke-29, AIA Council ke-18, dan AEM ke-47 pada akhir pekan lalu di Kuala Lumpur, Malaysia.
Saat ini, Produk Domestik Bruto (PDB) ASEAN mencapai USD 2,57 triliun, hampir mencapai dua kali lipat dari PDB ASEAN pada tahun 2007. Pertumbuhan PDB riil ASEAN diproyeksikan mencapai 4,6% di 2015 dan akan meningkat sampai dengan 5,1% pada tahun 2016.
Pasar utama ekspor ASEAN relatif tidak mengalami perubahan dan konsisten pada pasar tradisional dengan komposisi pangsa ekspor intra-ASEAN (25,5%), China (11,6%), Uni Eropa (10,2%), Amerika Serikat (9,5%), dan Jepang (9,3%). Sementara itu, total perdagangan intra-ASEAN meningkat lebih dari 50% dibandingkan tahun 2007 yang mencapai sebesar USD 2,53 triliun di tahun 2014.
Di bidang investasi, total Foreign Direct Investment (FDI) yang masuk ke ASEAN pada tahun 2014 tercatat sebesar USD 136,2 miliar dengan sumber utama investasi berasal dari EU (21,5%), Intra ASEAN (17,9%), Jepang (9,8%), Amerika Serikat (9,6%), dan China (6,5%).
Kehadiran Mendag – Thomas Lembong pada pertemuan AEM di Malaysia ini disambut sangat positif oleh tuan rumah Malaysia dan juga Menteri Ekonomi ASEAN lainnya. karena hal tersebut menunjukkan komitmen dan keseriusan Indonesia untuk mewujudkan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) yang akan dideklarasikan di akhir tahun 2015.
Hingga akhir bulan Juli 2015, implementasi kesepakatan cetak biru MEA telah mencapai 91,5% atau sebanyak 463 dari total 506 komitmen measures. Saat ini, Indonesia telah mengimplementasikan 92,7% atau sebanyak 469 dari total 506 measures.
Mendag Thomas Lembong, lebih lanjut mengatakan, bahwa kendala yang dihadapi Indonesia dalam pemenuhan komitmennya adalah karena terbentur peraturan domestik, di bidang jasa misalnya Perpres Nomor 39 tahun 2014 tentang Daftar Negatif Investasi (DNI). Agar dapat memenuhi komitmennya, langkah untuk melakukan penyesuaian terhadap regulasi terkait tampaknya tidak dapat dihindari. Di samping itu, Indonesia juga sedang berjuang agar ASEAN juga dapat melakukan penyesuaian terhadap target liberalisasinya di bidang jasa agar dapat dipenuhi oleh seluruh negara anggota ASEAN.
“Indonesia akan memperjuangkan agar negara anggota ASEAN dapat menyepakati penggunaan fleksibilitas penurunan penyertaaan modal asing dari 70% menjadi lebih besar atau sama dengan 51%,” demikian ujar Mendag – Thomas Lembong.

Sumber : http://mysharing.co/indonesia-tetap-optimis-kekuatan-masyarakat-ekonomi-asean/

Sunday, 23 August 2015

HMPS Ekonomi Syariah STAIN Pekalongan jalin MoU Kemitraan dengan Gerai Dinar Pekalongan



Apakah Mitra Gerai Dinar itu?

Sebagaimana filosofi 'Beyond Bussines' dari Gerai Dinar Pekalongan yang lebih mengutamakan edukasi ketimbang jual beli produk, maka mitra Gerai Dinar lebih diutamakan bertinak sebagai agen edukasi ke masyarakat tentang sistem keuangan yang adil, tentang proteksi nilai dengan Dinar dan Dirham, tentang mendorong usaha sektor riil dan mendorong untuk menyebarkan pemikiran di masyarakat yang sejalan dengan nilai-nilai ke-Islaman. Agen harus dapat mewakili Gerai Dinar Pekalongan dalam arti membuat masyarakat paham nilai-nilai tersebut diatas lebih dahulu sebelum membuat masyarakat membeli produk Gerai Dinar Pekalongan. Bagi kami masyarakt yang paham - meskipun tidak membeli produk, lebih kami utamakan ketimbang masyarakat membeli produk namun tidak memahami esensinya atau memahaminya secara salah. Sejalan dengan misi ini, agen kami tidak kita kenakan target penjualan agar mereka tidak memaksakan diri untuk berjualan produk Gerai Dinar. Karena target utama kami bukan menjual produk, maka kami tidak melakukan rekrutmen mitra secara proaktif. Sebaliknya, kami hanya termotivasi bersungguh-sungguh untuk menjadi mitra bila mereka memenuhi persyaratan sebagai Mitra Gerai Dinar Pekalongan.

Atas dasar pemikiran diatas akhirnya pada hari Kamis tanggal 20 bulan Agustus 2015 bertempat di Kantor Gerai Dinar Pekalongan, Jl. Binagriya Raya NO. 648 Kota Pekalongan, HMPS Ekonomi Syariah STAIN Pekalongan menjalin hubungan kerjasama Kemitraan dengan Gerai Dinar Pekalongan. yang dalam hal ini Gerai Dinar Pekalongan menyatakan bermitra dengan HMPS Ekos STAIN Pekalongan dan bersedia men-support aktifitas HMPS Ekos STAIN Pekalongan sesuai dengan Memorandum of Understanding (MoU) yang telah disepakati bersama, Gerai Dinar Pekalongan juga menjamin komitmen kepada HMPS Ekos STAIN Pekalongan sebagai sponsorship dan nara sumber untuk event-event yang dilaksanakan oleh HMPS Ekos STAIN Pekalongan.

Begitu pula dengan HMPS Ekos STAIN Pekalongan juga menjamin komitmen kepada Gerai Dinar Pekalongan sebagai mitra dan aktif mensosialisasikan, mengajak, menggunakan produk/jasa Gerai Dinar Pekalongan yang relevan dengan lingkungan HMPS Ekos STAIN Pekalongan dan HMPS Ekos STAIN Pekalongan atas nama pribadi atau instansi/lembaga telah menjadi member Gerai Dinar Pekalongan.
Mitra ini berlaku untuk jangka waktu 1 (satu) tahun, terhitung mulai sejak ditandatangani pada tanggal 20 bulan Agustus 2015 dan dapat diperpanjang untuk jangka waktu tertentu yang disepakati oleh Gerai Dinar Pekalongan dan HMPS Ekonomi Syariah STAIN Pekalongan.



Pembentukan BPJS Syariah Diusulkan Bertahap

Manajemen BPJS bersama dengan DSN MUI, OJK, dan pemangku kepentingan lainnya sedang mendiskusikan tersedianya layanan BPJS Syariah. Salah satu yang mengemuka adalah hadirnya roadmap pembentukan BPJS Syariah.
logo bpjs sayriah

Deputi Komisioner Pengawas Industri Keuangan Non Bank Otoritas Jasa Keuangan (IKNB OJK) Edy Setiadi, mengatakan sebagaimana pendirian bank syariah di masa awalnya, bank syariah disebut sebagai bank bagi hasil. Oleh karena itu, dalam pembentukan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) pun harus dibuat roadmap.

“Roadmap yang terdiri dari beberapa fase seperti apa BPJS Syariah. Seperti di saat awal ketika menetapkan bank syariah kita sungkan sebut bank syariah tapi sebutnya bank bagi hasil, setelah itu baru kenalkan bank syariah,” ujar Edy dalam Keynote Speech Seminar Menyikapi Fatwa MUI tentang BPJS Kesehatan di Gedung IASTH Universitas Indonesia, Jumat petang (21/8).

Edy melihat pembentukan BPJS Syariah dari dua sisi, yaitu sisi kelembagaan dan operasional. Di sisi kelembagaan, menurutnya, harus berevolusi. “Tidak harus dari awal bentuknya full fledged BPJS Syariah, sehingga berevolusi dari bentuknya window syariah dulu, lalu unit syariah, kemudian menjadi full fledged,” kata Edy. Baca: Ini Hasil Kesepakatan BPJS dan MUI Soal BPJS Syariah!

Sisi kelembagaan ini tentu terkait dengan perbaikan sisi operasional mengenai bagaimana mengoptimalkan pelayanan dan pengelolaan pendanaannya. Dalam fase awal sebagai window, lanjut Edy, di dalamnya bisa terdapat bagian konsultasi dengan DSN MUI, walau tidak perlu secara definitif. “Nanti fase kedua terbentuk unit syariah. Nah, kalau itu secara operasional harusnya sudah diperbaiki, pelayanannya lebih baik. Di unit syariah tadi ada tenaga tetap yang masuk ke BPJS itu sendiri. Baru setelah operasional baik bisa spin off BPJS Syariah,” tukas Edy. Baca: BPJS Gak Perlu Label Syariah

Sementara, Akademisi UI Buddi Wibowo, menuturkan akad iuran BPJS perlu diperjelas apakah bentuknya seperti asuransi konvensional (transfer of risk), apakah hibah (takaful) atau tabungan (provident fund). “Bentuk yang ideal adalah provident fund, yaitu tabungan dicatat untuk setiap individu, dan berkurang dengan semakin banyaknya klaim. Ini seperti haknya Singapore Central Provident Fund yang sangat efektif dalam memobilisasi dana domestik,” jelas Buddi.



Sunday, 9 August 2015

BPJS Syariah Harus Miliki Dana Tabarru


Seorang warga menunjukan kartu BPJS Kesehatan.
Seorang warga menunjukan kartu BPJS Kesehatan.

 
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kehadiran Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Syariah merupakan sebuah keniscayaan bagi masyarakat Muslim. Dalam BPJS yang ada sekarang ini masih terdapat unsur yang tidak sesuai prinsip syariah.

"Mengandung gharar (ketidakjelasan) dan sangat berpotensi mngandung riba yang dilarang syariah," ucap Ketua I Ikatan Ahli Ekonomi Islam (IAEI), Agustianto kepada ROL, belum lama ini.

Menurutnya pengaturan BPJS Syariah tidaklah sulit. Dana-dana premi yang dikumpulkan dari nasabah syariah hendaknya dibuatkan rekening khusus. "Dananya dibagi dua, ada dana tabarru' dan non tabarru'," ucapnya.

Dari dana tabarru' nantinya bisa digunakan untuk memproteksi atau klaim nasabah yang sakit. Dana tabarru' tidak terdapat dalam BPJS sekarang ini sehingga timbul ketidakjelasan.

"Kalau nanti di BPJS Syariah memberi klaim untuk orang sakit, artinya ada dana sosial yang diperuntukkan," kata pengamat ekonomi syariah ini.

Bagian dana yang lainnya digunakan untuk ujrah (upah) bagi pengelola BPJS. Inilah konsep asuransi syariah, memisahkan dana tabarru’ dengan dana yang bukan tabarru’ sehinga tidak bercampur dana tabarru dan dana bukan tabarru’.

Dana yang terkumpul harus dikelola dan diinvestasikan sesuai nilai-nilai syariah. Tidak boleh diputar atau digunakan di luar syariah.

Yang terpenting, dana yang terkumpul harus diinvestasikan pada investasi yang halal, produktif (menguntungkan), sedikit resikonya dan mendatangkan manfaat bagi perekonoman Indonesia baik dalam skala mikro maupun makro. Misalnya investasi di Sukuk Negara (SBSN), perbankan syariah dan sukuk corporate syariah seperti multifinance syariah, pegadaian syariah, Lembaga Pembiayaan Ekspor Syariah (Indonesia Exim bank) serta pasar modal syariah.



Sumber: http://www.republika.co.id/berita/ekonomi/syariah-ekonomi/15/08/08/nsrsj9349-bpjs-syariah-harus-miliki-dana-tabarru